Tentang Ketua, Wakil dan Hakim Pengadilan Agama
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA.
Pasal 11, berbunyi :
(1) Hakim
adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
(2) Syarat
dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas Hakim
ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 12, berbunyi :
(1)
Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan
oleh Menteri Agama.
(2)
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Pasal 13, berbunyi :
(1) Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus
memenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
a. warga
negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
c.
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan
bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak
langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi
terlarang yang lain;
f. pegawai
negeri;
g. sarjana
syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur
serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk
dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan
Agama.
Pasal 14, berbunyi :
(1) Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, c,
d, e, f, g, dan i;
b. berumur
serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.
(2) Untuk
dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan pengalaman sekurangkurangnya
10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang
pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
(3) Untuk
dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan
pengalaman sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi
Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi
Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.
Pasal 15, berbunyi :
(1) Hakim
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul Menteri
Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua
dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 16, berbunyi :
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib mengucapkan
sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut:
"Demi
Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung
atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga".
"Saya
bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari
siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,
seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaikbaiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
(2) Wakil
Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3) Wakil
Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan Agama diambil
sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
(4) Ketua
Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 17, berbunyi :
(1)
Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim tidak boleh
merangkap menjadi:
a.
pelaksana putusan Pengadilan;
b. wali,
pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa
olehnya;
c.
pengusaha.
(2) Hakim
tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3)
Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 18, berbunyi :
(1) Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
permintaan sendiri;
b. sakit
jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah
berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan Tinggi Agama;
d.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Pasal 19, berbunyi :
(1) Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan
alasan:
a.
dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c.
terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
d.
melanggar sumpah jabatan;
e.
melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e dilakukan setelah yang
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim.
(3)
Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara
pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama dengan Menteri
Agama.
Pasal 20, berbunyi :
Seorang
Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri.
Pasal 21, berbunyi :
(1) Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari
jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama
berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap
pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
berlaku juga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 22, berbunyi :
(1)
Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti dengan
penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(2)
Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya.
Pasal 23, berbunyi :
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian
tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta hak-hak pejabat yang
dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24, berbunyi :
(1)
Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
(2)
Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25, berbunyi :
Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa
Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama,
kecuali dalam hal:
a.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau
c.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.